Register Now!

    Peran dan Kontribusi Ulama Nusantara

    Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, dengan perkiraan jumlah penduduk muslim 240,62 juta jiwa dengan persentase 86,7% dari jumlah penduduk Indonesia 277,53 juta jiwa (Data RISSC). Perkembangan Islam di Indonesia secara kuantitatif pada mulanya disebabkan peran saudagar dan ulama Timur Tengah dan Gujarat yang berdakwah mengenalkan ajaran Islam, lalu dilanjut dengan peran-peran ulama yang strategis di lingkungan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara pra kemerdekaan. Selain itu Islam menyebar dan berkembang pesat karena peran ulama dan kaum santri melembagakan pendidikan dan kepengajaran islam melalui pondok pesantren yang merupakan intitusi pendidikan tertua di Indonesia yang asli (indegenos) pasca perang Diponegoro (Zamakhsari Dhofier), dan didukung pula oleh karya-karya ilmiah berupa kitab maupun manuskrip (makhthuthat) telah ditulis dan diajarkan oleh para ulama Nusantara, sehingga secara monumental menjadi kontribusi ilmiah yang signifikan dalam mengembangkan ajaran Islam dan dapat diterima di Nusantara secara akurat dan menyeluruh dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

     

    Jasa para ulama dalam menyebarkan ajaran Islam melalui karya-karya bacaan yang secara sanad (geneologi) hingga Nabi Muhammad SAW menjadi sumber ilmu penghubung yang otentik antara ulama nusantara dan ulama timur tengah. Dengan kata lain, bahwa wacana intelektual keagamaan ulama Indonesia memiliki sejarah yang kuat dengan tradisi keilmuan Islam di Mekkah dan Madinah, seperti berpusat pada semacam jaringan ulama di Mekah dan Madinah. Uraian tersebut dipertegas oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., bahwa Mekkah dan Madinah menjadi pusat wacana intelektual keagamaan para ulama di Nusantara. Dengan demikian, sanad keilmuan yang dibawa oleh para ulama di Nusantara bersambungan sanad keilmuannya dengan sumber ilmu agama yang ada di arab. Karya- karya ulama nusantara menjadi media komunikasi pada masa silam di Nusantara sebagai kekayaan informasi di masa sekarang, yang isinya tidak terbatas pada agama, namun mencakup berbagai bidang lain seperti hukum, etika, sastra, gramatika, akidah, perbintangan, sejarah, adat, pengobatan dan lain sebagainya.

     

    Karya-karya ulama tersebut lantas disebut dengan istilah manuskrip kuno, yang dalam bahasa latin diterjemahkan sebagai buku-buku yang ditulis dengan tangan. Karya-karya para ulama inilah yang kemudian menjadi khazanah keilmuan dan budaya bangsa. Dengan demikian, dapat dikatakan bila manuskrip telah memainkan peran krusial dalam keberlanjutan budaya dan peradaban melalui pewarisan ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi selanjutnya, yang pada gilirannya ikut mewarnai dalam dinamika keberagamaan umat manusia khususnya di Indonesia melalui dunia pendidikan pesantren. Dari lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Indonesia.

     

    Proses Masuknya Islam Di Indonesia

    Sebelum agama Islam datang, bangsa Indonesia (Nusantara) sudah mempunyai bermacam-macam kepercayaan (faith), misalnya animisme dan dinamisme atau yang disebut dengan zaman pra sejarah. Kepercayaan tersebut sangat kuat menancap di hati dan pemikiran para penganutnya. Peralihan pra sejarah menjadi zaman sejarah terjadi pada saat agama Hindu masuk ke Indonesia dari India. Agama Hindu adalah agama yang pertama kali masuk ke Indonesia. Pada awal abad ke-4 Masehi telah berkembang agama Hindu yang dibawa oleh pedagang asing dan melakukan aktivitas perdagangan di Indonesia yang dibuktikan dengan adanya Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Tarumanegara yang bercorak Hindu4. Di sisi lain karena Nusantara merupakan kawasan strategis untuk aktivitas perdagangan selain dari India, juga masuk pedagang dari cina dan membawa agama Budha. Berdasarkan penemuan sejarah pertama kali, agama Budha masuk pada abad ke-4 Masehi dengan ditemukannya prasasti budha di Kawasan Sulawesi. Dengan mengakarnya pengaruh kepercayaan di Masyarakat, kemudian pengaruh hindu dan budha yang begitu dominan, maka agama Islam menjadi sulit masuk dan berkembang di Indonesia, akan tetapi karena para penyebar agama (misionaris) Islam yang terdiri dari saudagar dan pendakwah begitu ulet dan gigih didukung dengan kesabaran yang luar biasa, maka akhirnya agama Islam mendapat sambutan di masyarakat

    Dalam hal masuknya Agama Islam di Indonesia, sampai sekarang tidak diketahui kapan tepatnya. Tetapi di kalangan pakar sejarah terdapat setidaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama meyakini bahwa agama Islam masuk pertama kali di Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ke 7 Masehi yang disebarkan oleh pedagang dari kawasan Timur Tengah dan Persia. Hal ini diperkuat dengan adanya bukti-bukti yang mendukung pendapat ini, di antaranya adalah catatan kerajaan Cina dinasti Tang yang berencana melakukan penyerangan ke kerajaan yang diperintah oleh Ratu Shima (674), makam islam Fathimah binti Maimun di Gresik (1082), dan berita Chou Ku-Fei (1778). Sedangkan teori kedua mengemukakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi oleh para saudagar dari Gujarat India. Hal ini diperkuat dengan adanya bukti-bukti seperti berdirinya kerajaan islam tertua (kerajaan samudera pasai) di Sumatera (berdiri pada abad 13), catatan perjalanan dari Marcopolo (1292) yang singgah ke kerajaan Samudera Pasai dari Cina menuju Eropa, berita dari Ibnu Batutah yang singgah di Sumatera Utara yang menemukan batu nisan Sultan Malik as-Shaleh (1297), seorang sufi yang merupakan raja dari kerajaan samudera pasai.

     

    Karakteristik Islam di Indonesia

    Corak penyebaran Islam di Indonesia merupakan proses yang perlahan, persuasif, berbasis kultur, bertahap dan berlangsung secara damai alias tidak melalui peperangan dan aneksasi wilayah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah Islam Sunni (ahlussunnah wal-jama’ah), yang diajarkan dan dilestarikan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam telah memasukkan berbagai unsur budaya dan adat istiadat setempat.

    Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran asketik dan aliran spiritual jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi lokal, seperti menghormati otoritas kiai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga berbagai kegiatan dalam tradisi Islam seperti ziarah, tahlilan, dan peringatan maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh muslim tradisional Indonesia.

    Ciri utama dari Islam di Nusantara ialah tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal, dan tasamuh (toleransi) rahmah (pengasih), dan juga inklusif. Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam, ia tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal.

     

    Peran Ulama di Masa Kerajaan Islam

    Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, peran ulama sangat sentris dan menonjol bahkan berada pada tataran pejabat elit, fungsinya ialah memperkokoh kedudukan raja yang sedang memimpin. Hubungan raja dan ulama begitu erat, contohnya di kerajaan Samudera Pasai, ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang dianggap mumpuni, ditunjuk secara resmi oleh raja sebagai mufti kerajaan sebagaimana keterangan Ibnu Batutah yang pernah singgah 15 hari dalam catatan rihlahnya. Mufti sangat berperan penting dalam kesultanan yang bersejajar dengan para petinggi kerajaan. Selain itu, di kerajaan Samudera Pasai, mufti memiliki majelis fatwa secara khusus untuk menyelesaikan permasalahan agama sampai politik.

    Gambaran jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad ke- 16, salah satunya adalah Hamzah Fansuri, ulama Melayu yang peninggalan karyanya cukup banyak, selain itu ada nama Syaikh Samsuddin as-Sumaterani (1693), Nuruddin al-Raniri (1658), Abdul Rauf as-Sinkili (1693), dan Yusuf al-Makassari, hingga Abdusshamad al- Falimbani dan Daud al-Fattani (Ayang Utriza Yakin).

    Kehadiran ulama di tengah-tengah kerajaan secara tidak langsung membentuk kelas sosial tersendiri karena wawasan dan kepiawaian di dalam memberikan fatwa. Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite dengan sejumlah keistimewaan dan pravillige yang diterimanya.

    Para ulama senantiasa berada di samping raja untuk memberikan nasihat spiritual sekaligus memberikan legitimasi langkah politik. Selain sebagai mufti, ulama yang tertunjuk juga berperan sebagai Qadhi, terutama dalam bidang hukum yang sangat sentral dalam membuat aturan (regulasi) dan menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Lembaga Kadi (Qadhi) semakin mapan pada abad ke-17 di Kerajaan Aceh. Tidak hanya memberi legitimasi dan nasihat kepada raja seperti di kerajaan Malaka, para Qadhi juga menjalankan hukum Islam di kerajaan.

    Qadhi Aceh mulai berdiri pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Selain itu, kerajaan Aceh juga memiliki lembaga Syaikhul Islam yang berada langsung di bawah raja. Lembaga ini mempengaruhi kebijakan raja dalam masalah sosial dan politik. Tercatat pula bahwa Nuruddin al-Raniri juga pernah menjadi kepala Syaikhul Islam. Beliau pernah menengahi protes keras Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan pedagang dari Gujarat.

    Aceh merupakan salah satu contoh kerajaan di Nusantara yang memiliki lembaga resmi ulama. Raja-rajanya memberi ulama kesempatan untuk terlibat dalam urusan keagamaan. Di Jawa, lembaga tersebut biasa ditemui di Kerajaan Demak. Dalam menjalankan pemerintahannya, sultan-sultan Demak dibantu oleh para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlul halli wal aqdi. Lembaga itu menjadi wadah permusyawaratan kerajaan yang memiliki hak untuk memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum muslimin. Sunan Giri pernah menduduki posisi ahlil halli wal aqdi. Beliau berwenang dan mengesahkan dan memberi gelar sultan pada penguasa kerajaan Islam di Jawa.

     

    Perjuangan Ulama di Era Kolonial (Pra Kemerdekaan)

    Pada kisaran abad ke 16 perkembangan dakwah umat Islam di Nusantara terus berkembang secara pesat, namun sejak kedatangan bangsa penjajah dari Eropa kususnya Bangsa Belanda dan portugis, umat Islam mulai menemukan banyaknya tantangan dan rintangan. Pada awalnya bangsa barat datang ke Nusantara terbatas pada misi dagang dan mencari daerah yang banyak tersedia bahan mentah dan bahan baku serta mencari daerah penanaman modal asing, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan agama Kristen di wilayah Nusantara dengan bersemboyan Gold yaitu semangat untuk mencari keuntungan besar, Glory, yaitu semangat untuk mencapai kejayaan dalam bidang kekuasaan, dan Gospel yaitu semangat menyebarkan agama Kristen di masyarakat yang terjajah. Oleh karena itu kedua bangsa Barat tersebut terus gencar melakukan penjajahan terhadap jajahan dan berusaha menguasainya, sehingga dengan mudah mereka dapat menyebarkan agama Kristen. Kondisi seperti inilah yang membuat umat Islam Nusantara banyak mengalami hambatan dan rintangan

    Dengan demikian motivasi bangsa Belanda dan portugis selain motivasi ekonomi dan politik juga mempunyai motivasi agama. Masyarakat islam yang berada di bawah kekuasaan bangsa bangsa belanda ditekan sehingga banyak di antara umat Islam yang melarikan diri atau bertahan dengan melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajah Belanda tersebut. Gerak langkah umat Islam diawasi sedemikian rupa, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan peradabannya atau paling tidak mempertahankan peradaban Islam yang masih ada. Hampir semua sistem Belanda diterapkan di Nusantara, termasuk peradabannya Masyarakat Islam Nusantara diubah budayanya agar berperilaku dan berperadaban bangsa Belanda. Dengan demikian, pola hidup dan pemikiran umat Islam digiring mengarah kepada kehendak bangsa Belanda yang menjajah.

    Dengan kondisi seperti itu, perlawanan atas penjajahan tersebut muncul dari berbagai daerah, tokoh, maupun rakyat jelata, terutama dari kalangan Kerajaan di Nusantara. Di antara tokoh yang kami sebut dan kami ulas sedikit kisahnya adalah Pangeran Diponegoro.

    Sultan Abdulhamid Herucokro atau Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan ningrat Keraton Jogjakarta telah meletakkan dasar-dasar berbangsa, bernegara dalam bingkai kehidupan beragama. Sebagai seorang keturunan Jawa, dia sangat mencintai dan menghormati sejarah, budaya adat dan tradisi Jawa. Sebagai seorang muslim dia tentu sangat meneladani perjalanan hidup Nabi Muhammad. Sebagai seorang bangsawan putera seorang raja, dia sangat memahami bagaimana selayaknya melindungi harkat dan martabat bangsanya.

    Perjuangan Pangeran Diponegoro yang juga merupakan ulama secara detail banyak dikisahkan di buku-buku Sejarah, namun yang luput dari sorotan dan catatan Sejarah adalah kelanjutan dari perjuangan Pangeran Diponegoro, ialah perjuangan para murid beliau yang menjadi cikal bakal tokoh pendiri pondok pesantren di Jawa hingga lahirnya Nahdlatul Ulama dan memiliki jejaring keulamaan dan perjuangan bangsa yang mengakar.

    Salah satu tokoh penting dalam membantu terbentuknya jaringan ini adalah Kiai Mojo. Pada saat Perang Jawa, Kiai Mojo ditunjuk Pangeran Diponegoro sebagai penasihat sekaligus panglima pasukan yang mengkonsolidasi jaringan ulama-santri seperti saudara- saudaranya sendiri (Kiai Hasan Mochammad, Kiai Hasan Besari, dan Kiai Baderan II), Kiai Umar Semarang, Kiai Abdusshomad Tambakberas Jombang, dan kiai-kiai lainnya. Ia berhasil mengubah modus perlawanan terhadap penjajah dari “pemberontakan” menjadi “perang sabil”. Di bawah pengaruh Kiai Mojo, ikut sejumlah tokoh lokal; 88 Kiai desa, 36 haji, 11 syech, 18 pengatur agama (penghulu, modin, khatib, juru kunci), 15 guru mengaji, dan beberapa ulama dari Kariidenan Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, hingga Madiun dan Ponorogo, serta 3 orang santri wanita

    Jejaring ulama ini menjadi gambaran bagaimana perjuangan itu tidak statis dan linear, namun dinamis dan berjenjang serta berkelindan sehingga perlawanan Diponegoro cukup masif tidak sebatas lima tahun antara 1825-1830. Namun, perlawanan itu digerakkan jauh sebelum pecahnya Perang Jawa dan menjulur hingga pasca penangkapan Diponegoro.

    Perlawanan tersebut terus terjaga dalam bentuk dan strategi perjuangan yang berbeda. Perjuangan tersebut membutuhkan nafas panjang dan turun temurun hingga momentum yang tepat untuk menggerakkanya kembali, yaitu perang kemerdekaan, melanjutkan perang jihad mengusir penjajah/penindasan dan menjaga tegaknya kemerdekaan RI.

     

    Pesantren “Rumah Besar Pendidikan Islam, Dakwah , dan Pencetak Kader Ulama”

    Selain menjadi basis dan poros perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, pesantren memainkan peran besarnya yang primer, yakni sebagai pusat dakwah, Pendidikan Islam dan pencetak kader ulama yang mewarnai kehidupan berbangsa hingga kini. Kontribusinya sangat luar biasa di dalam mengawal kemerdekaan dan memberikan kemanfaatan-kemanfaatan yang begitu luas. Pesantren merupakan institusi Pendidikan tertua di Indonesia yang merupakan formulasi asli bangsa Indonesia sebagai peran utama pusat Pendidikan dan dakwah. Seiring dengan geliat perkembangan pesantren dan perjuangan kiai di dalam mencetak ulama, banyak tokoh besar yang lahir dari pesantren serta kontribusi di dalam mengawal dan mengisi kemerdekaan yang masih terasa hingga kini dan terus memainkan perannya.

     

    Oleh : Moh. Zainul Arif, Alumni PPTN

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *