Register Now!

    Profil Masyayikh

    KH. Muhammad Abdul Aziz Manshur ( 1943 – 2015 )

    Sosok kyai sepuh ‘alim ‘allamah begitulah KH. Husain Ilyas Mojokerto menyebutnya, yang ke’alimannya tidak hanya dinikmati santrinya saja melainkan seluruh umat, sering kali para pejabat bertanya-tanya “kiai keluaran (lulusan) mana ?” dengan canda beliau menjawab “keluaran perut ibu saya”. Meski kealimannya tanpa di bekali ijazah dan gelar namun keilmuan beliau sungguh diakui oleh para petinggi negara, hingga tak berlebihan kalau beliau dijuluki “Bapak Santri Nusantara

    Bila ada pejuang umat, pengayom masyarakat, penesehat pemerintahan sekaligus kyai pondok pesantren yang senantiasa ditengah – tengah santri pagi, siang, sore dan malam senantiasa untuk menggelar pengajian. Sosok itu adalah KHM. Abdul Aziz Manshur.

    KH.M. Abdul Aziz Manshur dilahirkan di dusun Paculgowang kec. Diwek kab. Jombang Jawa Timur, Kyai AZIZ lahir pada tahun 1941 M. Sewaktu Jepang mulai berkuasa di Indonesia. KH.M. Abdul Aziz Manshur dilahirkan dari pasangan KH. Manshur Anwar dan Nyai Hj. Salamah, putri ketiga dari Hadrotussyeh KH. ABDUL KARIM LIRBOYO. Dari garis keturunan memanglah sudah tidak diragukan lagi, namun kemulyaan dari garis keturunan tidaklah membuat Gus Aziz pada waktu itu lalai akan perjuangan mencari ilmu. Sejak usia dini beliau telah dididik oleh orang tuanya. Pada usia 4 tahun beliau diajarkan mengenal Fasholatan, Thoharoh, dan menghafal Juz Amma langsung oleh ibunya.

    Kemudian memasuki usia 6 tahun beliau mulai ikut sekolah. Di sekolahan tersebut diajarkan cara membaca dan menulis. Di samping mendapat pelajaran di sekolah juga diajarkan oleh orang tua beliau, yang kemudian dilanjutkan belajar Al-Qur’an. Mengaji Al-Qur’an ini ditempuh dalam waktu satu tahun khatam.

    Memasuki usia yang ke-tujuh tahun beliau masuk sekolah SR ( Sekolah Rakyat), yang kedudukkannya setingkat SD sekarang yang berada di desa Bandung. Setelah setengah tahun lamanya sekolah di SR beliau pindah ke Madrasah Ibtida’iyyah Paculgowang yang sempat vakum beberapa tahun akibat agresi Belanda ke-II. Kekhawatiran akan prestasi yang tidak berkembang mendorong untuk pindah ke Tebuireng sebelum kelas VI Ibtida’iyyah yang kala itu masih menggunakan kurikulum pendidikan pesantren salaf dengan empat pelajaran yaitu tiga pelajaran agama dan satu pelajaran umum.

    Setelah di Tebuireng selama dua setengah tahun , kurikulum Tebuireng diganti dengan tujuh jam pelajaran yang terdiri dari empat pelajaran umum dan tiga pelajaran agama. Ini membuat beliau bingung. Ibarat mobil yang sedang lari sekencang – kencangnya tiba – tiba berhenti. Akhirnya beliau memutuskan untuk pindah. Pandangan beliau kala itu ke Sarang, Lasem, Watu Congol Magelang, Banten, Cirebon, yang alhamdulillah kesemuanya itu telah beliau jajahi walau hanya sebentar. Akhirnya setelah beliau timbang – timbang rupanya yang lebih cocok untuk diri beliau dalam mencapai cita – cita adalah ke pondok Lirboyo Kediri. Yang di pondok ini lebih difokuskan untuk mempelajari ilmu – ilmu Alat, Mantiq, Balaghoh, yang kesemuanya itu adalah merupakan kunci untuk menguasai banyak kitab. Alhamdulillah, beliau di Lirboyo bisa belajar seperti yang diinginkan sampai tamat.

    Tepat pukul 23:00 senin malam selasa tanggal 08 Desember 2015 M. / 26 Shofar 1437 H. beliau menghembuskan nafas yang terakhir kalinya dengan tenang, pulang keharibaan Allah SWT untuk memenuhi panggilannnya bertepatan dengan usia beliau yang ke-72 tahun.